ki sabdo langit Rahayu.(Jumat Legi tanggal 19 Nopember
2010) adalah hari ke 35 atau
tepat selapan hari sejak acara
labuh ke Merapi pada Jumat legi
tanggal 15 Oktober 2010. Kali ini
kami kembali melaksanakan ritual agung multi etnis dan multi
kepercayaan yang kami
pusatkan di dua tempat,
Pasarean Agung Agung Kotagede
di mana sumare para ratugung
binatara, paranata, putra wayah dan sahandap sentono dalem. Ki
Ageng Pemanahan, Nyi Ageng
Enis, Panembahan Senopati,
Kanjeng Ratu Kalinyakmat,
Kanjeng Ratu Retno Dumilah,
kenduri untuk alamSultan Hadiwijaya (Ki Jaka Tingkir), Pangeran Jayaprana, Ki
Juru Martani, Ki Ageng Mangir
Wonoboyo, Sinuhun Sampeyan
nDalem Sri Sultan Hamengku
Buwono II. Dan di Pasarean agung
Imogiri di mana sumare sapanghandap sampeyan ndalem
Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan
Agung Prabu Hanyakrawati,
Kanjeng Ratu Batang, Gusti
Hamangkurat Jawi, Sri Sultan HB
III s/d IX, Sinuhun Kanjeng Sunan Pakubuwono I s/d IX dan masih
banyak lagi. Acara diikuti oleh sekitar 250 orang terdiri
dari para abdi dalem Kraton Solo
dan Jogja, juga masyarakat
umum dari berbagai daerah.
Dengan fokus tujuan yakni
harapan dan upaya agar seluruh makhluk yang ada di bumi ini
terutama di daerah-daerah
rawan bencana di manapun
berada, apapun suku dan
agamanya di wilayah nusantara
ini mendapatkan berkah keselamatan dan kesejahteraan
jiwa-raganya, lair dan batinnya.
Selain itu ada adalah harapan
besar untuk kesuksesan suatu
kepemimpinan di wilayah paling
utara batas zona nusantara di mana pada zaman dahulu
sebelum Masehi sebagai starting
point cikal bakal lahirnya bangsa
besar yang kini disebut bangsa
Indonesia di kepulauan
nusantara. Malam itu sungguh istimewa,
acara dipusatkan di dalam
pelataran pasir pasarean agung
Kotagede Panembahan Senopati
dengan menggelar tikar dan ubo
rampe sesajian lengkap juga gelar tumpeng nasi kuning
komplit dan tumpeng nasi putih
sebagai simbol penghormatan
kepada leluhur di tlatah Kutai
dan Mataram. Tak kurang nasi
dus untuk semua peserta yang hadir. Acara dimulai pada jam
21.11 wib. Pranata adicara (mc)
adalah abdi dalem pasarean wakil
dari Solo segera membuka acara
dengan sambutan singkat dan
padat. Dalam membuka sambutan, berkali-kali MC
megatakan “sugeng rawuh katuraken dumateng
panjenenganipun Raden Mas
Sabdopalon ingkang paring
dawuh ngleksanaaken adicara
malem tirakatan punika…” dan MC menyebut pula nama-nama para
leluhur agung yang sumare di
Pasarean Agung Kota Gedhe dan
Imogiri. Banyak perserta
tirakatan agak bingung kenapa
MC menyebut Sabdopalon dari awal acara hingga penutup dan
kenapa pula tidak ada yang
meralatnya. Tampak beberapa
peserta agak bingung dan
menyangka MC telah melakukan
kesalahan dalam menyebut nama. Tapi sebagian besar lainnya
tampak tetap tenang seperti
tak ada yang salah. Sugeng Rawuh Ki
Sabdopalon dan Ki
Noyogenggong Beberapa di antara kami, rekan-rekan yang
memiliki bakat bawaan lahir bisa
melihat dan berinteraksi dengan
titah gaib. Tak mengherankan
jika malam itu banyak yang
menyaksikan sebagai acara yang istimewa karena benar-benar
dihadiri oleh banyak leluhur
besar nusantara terutama yang
sumare di dua pasarean agung
tersebut. Namun ada satu hal
paling istimewa, di mana saat acara selesai pada jam 23.00
kami melihat ada satu leluhur
yang belum pernah kami lihat
sebelumnya. Ternyata beliau
adalah Ki Sabdopalon (saudara
kembar Ki Noyogenggong). Dalam hati saya, “inilah beliau sosok legendaris yang banyak
dibicarakan orang, dan ternyata
betul-betul ada, sebagai sosok
yang sederhana mengenakan
udeng di kepala. Berperawakan
tidak gemuk, tidak kurus tinggi sedang semampai dengan wajah
yang bersih berseri. Suara dan
tutur kata yang lembut tak
ubahnya seorang resi arif
bijaksana. Yah, malam itulah
banyak di antara kami merasa beruntung, bisa menyaksikan
sosok legendaris itu betul-betul
rawuh. Apakah rawuhnya Ki Sabdopalon
dan Noyogenggong sudah
beberapa waktu lamanya atau
baru malam itu, dengan
sebelumnya ditandai Gunung
Merapi meletus dahsyat 5 pada Nopember 2010 lalu ? Hal itu
saya pikir tidaklah menjadi soal,
yang paling penting adalah
bahwa Ki Sabdopalon benar-
benar telah rawuh. Beliau netepi
janjine yang diucapkan pada 500 tahun lebih yang lalu.
Kedatangannya bukan untuk
menghancurkan, tetapi akan
memberikan pelajaran hidup bagi
manusia Jawa yang telah hilang
kejawaannya. Pelajaran yang diberikan bukanlah dengan
kekerasan, peperangan,
kelicikan, atau pun keculasan.
Bukan itu jalan yang bakal
ditempuh. Ki Sabdopalon dan Ki
Noyogenggong tokoh yang pandai belajar dari sejarah,
menghargai sejarah, dan tahu
sejatinya hidup. Beliau berdua
memberikan pelajaran melalui
aras kasih sayang, welas asih,
dan memberikan pelajaran- pelajaran berharga melalui
peristiwa dan pengalaman hidup.
Hanya tinggal tergantung kita
saja, apakah mau dan sudi untuk
belajar dari peristiwa dan
pengalaman atau mau ndablek. Itu pilihan masing-masing orang.
Tentu saja, masing-masing pilihan
akan memiliki konsekuensi yang
berlaku secara adil dan
bijaksana. Yang tak mau ambil
pelajaran akan rugi sendiri dan tergilas oleh dinamika zaman.
Sementara yang mau belajar
akan menjadi orang yang selalu
beruntung, selamat, sejahtera
lahir dan batin. Kenapa Bergejolak ? Perlu diketahui, Merapi bergolak
karena ada beberapa alasan, pertama; karena ulah manusia yang sudah tidak menghargai
para penghuni dimensi lain yang
jelas-jelas selama ini selalu
konsisten menjaga keselarasan
alam semesta, sehingga lagi-lagi
manusia lah yang diuntungkan. Tapi pernahkan mayoritas
manusia sadar diri telah
berhutang budi dan jasa kepada
sesama makhluk di bumi ini,
sehingga manusia beradab untuk
berterimakasih ? Saya lihat yang terjadi justru sebaliknya,
sebagian manusia malah
mendisreditkan, menjelek-
jelekan, menghina, tidak
menghargai makhluk lain dengan
menuduhnya sebagai sumber kesesatan, kemusrikan,
angakara, dan dunia hitam
kejahatan. Sekedar untuk
berempati, bagaimana perasaan
Anda apabila setiap saat
konsisten menjaga ketentraman lingkungan masyarakat di temat
mana Anda hidup, tetapi ada
kelompok masyarakat yang
memfitnah, mendistkreditkan,
dan menuduh Anda sebagai
penjahat dan biang kerok ? Sesuai janji Ki Jurutaman (abdi
dalem Panembahan Senopati) ia
akan tetap setia menjaga
Jogjakarta dari letusan Merapi,
dengan syarat, selama
masyarakat masih memiliki kesadaran kosmos, untuk saling
menghormati dan menghargai
sesama makhluk ciptaan Tuhan,
apapun wujudnya, dan
bagaimanapun caranya. Terbukti
ratusan tahun sejak Ki Jurutaman “bertugas” menjaga Merapi, gunung Merapi tak
pernah sekalipun menebar abu
vulkanik ke arah Jogja. Tahun
2006-2007 adalah batas
kesabaran terakhir
“masyarakat” Merapi. Tahun 2010 kesabaran itu tak lagi bisa
diulur– ulur karena tindakan masyarakat manusia terhadap
para “tetangganya” itu sudah keterlaluan. Inilah yang dimaksud
masyarakat melanggar paugeran.
Atas pelanggaran itu, berdampak
sikap kecewa Ki Jurutaman yang
ditandai luruhnya geger boyo
(glacap gunung) pada tahun 2007 lalu . Geger boyo atau
glacap gunung yakni hamparan
bukit yang mirip punggung
buaya, yang berada di sebelah
selatan kawah Merapi berfungsi
sebagai tanggul penahan arah lava pijar supaya tidak mengarah
ke selatan (Jogjakarta). Sejak
longsornya geger boyo pada
tahun 2006, Jogjakarta mulai
mendapat kiriman abu vulkanik,
saat itu tahun 2007 saat Merapi terjadi erupsi, abu vulkaniknya
mencapai Jalan Gejayan dan
Condong Catur Yogyakarta.
Peristiwa yang sama-sekali belum
pernah terjadi sejak ratusan
tahun silam. Alasan kedua; bergolaknya Merapi karena
“masyarakat halus” gunung paling aktif di dunia itu hingga
kini belum lah memiliki “seorang” ratu. Tidak seperti gunung Lawu
dengan Dewi Untari (Dewi
Nawang Sari). Memang banyak
penguasa di sana sebut saja di
antaranya adalah Mbah Petruk.
Tetapi mereka bukanlah sosok yang hangratoni jagad Merapen,
melainkan sekedar penguasa
sebagian wilayah saja. Karena
“masyarakat halus” Merapi lebih awas ketimbang masyarakat
manusia yang sudah bebal
ketajaman batinnya, mereka
tahu jika ada seseorang yang
layak diangkat menjadi ratunya,
yakni Hyang Wuhud Mbok Rondo Kasiyan (cemoro pethak) yang
tengah mengandung calon sang
hyang Ratuning Jagad Nusantara.
Masyarakat Merapen sangat
mengharapkannya bersedia
menjadi ratu junjungan untuk “masyarakat” Merapen. Saya pikir sangat wajar dan maklum,
siapapun…” masyakarat halus” maupun agal berharap memiliki
pemimpin yang “sekti mandraguna”, dan berbudi bawa leksana. Sehingga Merapi ingin
“meminang” mbok Rondo Kasiyan untuk jumeneng sebagai ratunya.
Tapi pada 19 Nop 2010
“pinangan” itu ditolak secara bijaksana oleh Mbok Rondo. Sun iki titah jalma, sira kabeh
titah alus,
papan ku lan papan mu dewe-
dewe.
Prayoga sira kabeh goleka ratu
saka bangsamu titah alus bae. Sun sadrema nglampahi jejibahan
Murih laire bocah kang wus
dangu digadhang
para ngaluhur lan bangsa.
Kita kabeh padha donga-dinonga
murih slamet. Sakabehing titah alus aja padha
kuwatir,
samengko bakal akeh pramudha
kang handarbeni rasa welas asih
lan ngajeni mring samubarang
titah gesang, iyo sato kewan, bangsa wit-
witan,
kalebu sakabehing titah alus. Andil Besar Para Leluhur Tentu saja kepentingan
masyarakat Merapen
berbenturan dengan
kepentingan masyakarat
manusia. Di mana masyarakat
manusia telah lama mengidam- idamkan figur pemimpin (ratu)
yang berbudi bawa leksana,
berwatak adil dan rendah hati,
yang bisa selalu mengasah
mengasihi mengasuh, arif
bijaksana terhadap rakyat agal maupun halus. Ialah calon
pemimpin (negarawan sejati)
yang akan mampu mengangkat
martabat nusantara untuk
menggapai kejayaannya di kelak
kemudian hari. Doa tidak akan cukup hanya diulang repetitif
melalui mulut sekalipun sampai
berbusa dan kering. Doa harus
disertai upaya konkrit. Oleh
sebab itu kepedulian leluhur
sangat diharapkan untuk andil dalam menjaga keselarasan dan
keamanan. Namun tanpa upaya
dari anak turun dan segenap
generasi bangsa untuk
“menjemput bola” para leluhur, sepertinya leluhur pantang
terlibat urusan duniawi. Kenapa musti leluhur ? Kita
semua tentu telah pahami,
bahwa seluruh makhluk hidup
tidaklah sempurna yang bisa
melakukan segalanya, mereka
semua ada dengan segenap perbedaan-perbedaan supaya
dapat saling melengkapi dan
menyempurnakan. Ada hal yang
bisa manusia hidup lakukan,
sementara hal tersebut tak bisa
dilakukan leluhur. Banyak hal yang bisa dilakukan leluhur
apalagi yang menggapai
kamulyan sejati, sementara kita
yang masih mempunyai raga tak
bisa melakukannya. Ada hal-hal
yang bisa dilakukan oleh makhluk halus, sementara kita tak bisa
melakukannya. Banyak pula hal-
hal yang tak bisa dilakukan oleh
makhluk halus, sementara kita
bisa melakukannya. Begitulah
seharusnya hidup saling melengkapi, saling menghormati.
Bukan menuduhnya dengan nilai-
nilai kekejian. Kita lebih baik
selalu waspada, jika betul-betul
tidak menyaksikan, mengalami
atau melihatnya sendiri, coba lah berfikir korektif, “jangan-jangan persangkaan buruk yang kita
tuduhkan itu ternyata salah. Apa
jadinya ? Bukankah lebih baik
berfikir positif kepada seluruh
makhluk dari pada berfikir
negatif yang pada ujungnya menjadi siksaan perasaan buat
diri sendiri ?! Secercah Harapan Pada akhirnya, segenap upaya
menjemput bola pun
menghasilkan secercah harapan.
Para leluhur besar nusantara ini
berkenan untuk meminta
“masyarakat” Merapen untuk cooling down supaya Merapi
tidak lagi bergolak lebih besar.
Malam itu, demikian banyaknya
leluhur agung yang rawuh dan
satu di antaranya memberikan
kabar bahwa Merapi sudah bisa dirih-rih (didinginkan “hatinya”). Hanya saja masih harus waspada
terhadap resiko sekunder
berupa awan beracun dan banjir
lahar dingin. Namun redamnya
Merapi berarti ada sisa magma
dan kekuatan besar yang tidak jadi keluar. Jika magma itu harus
keluar maka timbulah
konsekuensi lain, yakni magma
akan mencari lubang (kawah)
lainnya yang memungkinkan.
Barangkali Anak Krakatau dan Bromo menjadi pilihan tepat, di
mana keduanya relatif lebih
aman karena kedua gunung
tersebut tidak berada di tengah
perkampungan dan perkotaan
yang padat. Anak Krakatau berada di tengah laut, Bromo
pun tidak lah membawa resiko
sebesar Merapi, karena
masyarakat Bromo (suku
Tengger) lebih bisa dipercaya
dalam langkah penyelamatan diri. Suku Tengger masih lebih arif
dalam memahami karakter Bromo
dan mampu berinteraksi dengan
baik terhadap lingkungan
alamnya khususnya wilayah
sekitar Gunung Bromo. Dengan kata lain, antara Suku Tengger
dan Gunung Bromo masih
terbangun hubungan yang
selaras dan harmonis. Lantas apakah RI-1 yang serba
salah tingkah dan salah kaprah
merupakan wujud bencana baru
pengganti Merapi yang sudah
mulai coolingdown ? Semoga
bukan itu. Sebab jika demikian hal nya, maka harus berhadapan
dengan hukum alam yang tak
pernah menyisakan ketidakadilan
secuil-pun juga. Siapa menanam
pohon kebaikan, ia akan menuai
buah kebaikan pula. Ibaratnya, barang siapa menanam akan
mengetam. Siapa pun yang
menabur angin akan menuai
badai. Siapapun yang durhaka
dan menghianati jerih payah
orang tua, dan perjuangan pahlawan serta para perintis
bangsa, ia tak akan luput dari
bebendu. Karena kita adalah
generasi penerus bangsa
sungguh telah berhutang jasa
kepadanya. Hal itu sudah menjadi mekanisme hukum sebab akibat,
penghianatan akan berbuah
kejatuhan. Kenyataannya, semenjak Ibu Tien
wafat, setelah itu tak pernah
ada lagi Presiden yang
mendapatkan wahyu keprabon.
Di mana sebagai tolok ukur
apakah seorang pemimpin direstui oleh para leluhur atau
tidak. Jika tidak mendapatkan
wahyu keprabon, lantas apa
jadinya ? Tentu kita semua bisa
melihat dengan jelas dengan
mata kepala sendiri.

About admin

orang biasa berusaha jd tetap biasa..ketenangan jiwa akan selalu ada asal selalu bersyukur.

Satu tanggapan »

  1. ipunkbharata berkata:

    sy sngat setuju dengan pendapat terakir seorang pemimpin di nuswantara hrs punya wahyu keperabon karna klau seorang pemimpin tidak mempunyai wahyu keprabon karisma kepemimpinannya tidak ada

Tinggalkan Balasan ke ipunkbharata Batalkan balasan